Bisnis Perhotelan Terancam Lesu, Haruskah Kebijakan Efisiensi Batal?

Dampak Negatif Efisiensi Anggaran

Kebijakan efisiensi anggaran yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo Subianto berisiko memberikan dampak negatif terhadap bisnis perhotelan.

Sebab, Presiden menginstruksikan jajarannya untuk memangkas anggaran perjalanan dinas dan kegiatan pertemuan atau meeting pada 22 Januari 2025.

Dilansir dari Tempo.co, Jumat (21/03/2025), Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani memprediksi dampak pemangkasan anggaran bisa menyebabkan bisnis akomodasi dan perhotelan nasional kehilangan pendapatan hingga Rp 12,4 triliun.

Menurut Haryadi, pemangkasan anggaran itu bisa berdampak signifikan bagi usaha akomodasi dan penginapan, karena pangsa pasar bisnis perhotelan dari belanja pemerintah masih cukup besar.

“Tahun 2024, segmen pasar pemerintah secara nasional adalah sekitar 40 persen,” ujarnya.

Berdasarkan perhitungan PHRI pada 2024, total keuntungan perhotelan seluruh Indonesia dari pasar pemerintah sebesar Rp 24,8 triliun, yang terdiri dari akomodasi atau keterisian kamar sekitar Rp 16,5 triliun dan meeting Rp 8,2 triliun.

Sehingga, jika perjalanan dinas dan kegiatan pertemuan dipangkas 50 persen saja, maka kerugiannya bakal mencapai Rp 12,4 triliun.

Haryadi memaparkan, hotel bintang 3 dan 4 mengumpulkan Rp 14,1 triliun dari pasar pemerintah pada 2024. Selain itu, hotel bintang 5 juga bakal rugi karena bergantung 2,4 triliun dari pangsa pasar pemerintah.

(Baca: Bisnis Perhotelan Terancam Lesu, Sandiaga Minta Pemerintah Tetap Berkegiatan di Hotel Meski Efisiensi Anggaran)

Kebijakan efisiensi juga berdampak signifikan bagi hotel-hotel di luar pulau Jawa. Data PHRI memaparkan bisnis perhotelan di daerah luar Jawa bahkan menggantungkan keuntungan dari pasar pemerintah sampai 70 persen.

Menurut Haryadi, saat ini bisnis perhotelan masih sulit beralih dari segmen pasar pemerintah. Sebab, belum adanya arah kebijakan yang jelas mendukung pariwisata domestik.

Jika hal ini terus berlanjut, dampak negatif akan nampak juga pada bisnis lain yang selama ini menjadi pemasok bagi hotel, yakni usaha mikro, kecil, menengah, dan pertanian lokal.

Kerugian hotel pun bisa berdampak pada efisiensi tenaga kerja. Pendapatan hotel yang seret juga bisa menyebabkan kredit macet bisnis perhotelan.

Di lain kesempatan, Co-Founder of Saratoga Investama, Sandiaga Uno, pun ikut buka suara. Ia menilai semestinya anggaran yang dipangkas bukan kegiatan-kegiatan di hotel, tapi kegiatan-kegiatan yang tidak efisien atau kegiatan-kegiatan yang tidak memberikan dampak langsung terhadap ekonomi.

Menurut Sandiaga, rapat-rapat seperti pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia masih boleh dilakukan.

Meski pada akhirnya perhotelan perlu mengurangi porsi segmen pasar pemerintah, saat ini pemerintah harus menunjukkan keberbihakan kepada para pengusaha hotel dan restoran.

Bergantung Pada Kekeliruan

Pandangan Sandiaga Uno ada benarnya, jika aktivitas aparatur pemerintahan di hotel-hotel sudah melalui identifikasi kebutuhan yang benar. Sayangnya, yang marak terjadi tidak demikian.

Larangan menggelar rapat di hotel sempat mengemuka pada 2015. Pada waktu itu, Kementerian Pendayagunaan dan Aparatur Negara menerbitkan surat edaran untuk membatasi kegiatan atau rapat di luar kantor.

Dengan pembatasan tersebut, penghematan anggaran diharapkan bisa mencapai Rp 5,12 triliun. Akan tetapi, Presiden Joko Widodo secara resmi mencabut larangan pada tahun 2019.

(Baca: Jokowi Cabut Larangan Rapat di Hotel, Pengusaha: Hore!)

Sayangnya, pencabutan larangan kegiatan atau rapat di hotel tidak diikuti dengan pengelolaan anggaran yang lebih baik seperti yang diusulkan oleh Haryadi kala itu.

Akibatnya, modus pemborosan anggaran negara ini berlanjut sampai akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo.

Modus pemborosan ini sempat dikritisi oleh dosen administrasi publik di Universitas Indonesia, Lina Miftahul Jannah. Menurutnya, larangan penggunaan hotel untuk urusan kedinasan semestinya berlaku secara nasional dan untuk setiap jenis kegiatan.

Akan tetapi, pemborosan anggaran justru terus bergulir karena kegiatan luar kantor kerap disusun di luar kebutuhan riil.

“Kalau untuk menghentikan pemborosan negara, rapatlah di kantor pemerintah. Banyak akal-akalan, yang kantornya di Jakarta, rapat di Tangerang. Yang di Bogor rapat ke Jakarta.”

“Ada yang berpotensi mencari keuntungan pribadi, ada ‘rombongan wayang’ karena yang rapat sebenarnya 2-3 orang. Ini mubazir,” ujar Lina.

(Baca: Polemik rapat pemerintah di hotel, populis atau demi efisiensi?)

Sejalan dengan hal tersebut, DPD IAPI Jakarta pun telah menuangkan opininya dalam artikel ‘Rapat Di Hotel Bukan Sekedar ‘Sebolehnya’ Peraturan‘, yang diterbitkan pada 26 Maret 2025.

Berangkat dari rapat pembahasan RUU TNI di sebuah hotel mewah yang menghebohkan publik, DPD IAPI Jakarta mengkritisi aturan yang masih ‘membolehkan’ penyelenggaraan rapat di hotel. Padahal, Presiden telah mengeluarkan kebijakan efisiensi anggaran.

Dalam opininya, DPD IAPI Jakarta mengutip pernyataan ahli pengadaan Mudjisantosa: “Hidup bukan sekedar sebolehnya peraturan tetapi seharusnya peraturan dan bagaimana sebaiknya.”

Kritik terhadap pelaksanaan rapat di hotel ini dilayangkan bukan tanpa sebab. Sebagai informasi, kegiatan rapat di hotel pun melibatkan peran pelaku pengadaan di dalamnya, yaitu Pejabat Pengadaan/Kelompok Kerja Pemilihan dan/atau Pejabat Pembuat Komitmen.

Jika modus ‘merugikan negara’ ini semakin masif dan para pihak yang melakukannya merasa permisif, bukan tidak mungkin-suatu saat-Pelaku Pengadaan dapat menjadi terpidana korupsi akibat merugikan negara dalam kasus ‘rapat di hotel mewah’.

Meski muncul desakan dari PHRI dan mantan calon wakil presidennya di pemilu sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto tidak perlu mengikuti jejak presiden terdahulu dengan membatalkan kebijakan efisiensi anggaran, khususnya pada pembatasan kegiatan rapat di hotel.

Sebaliknya, pemerintah harus melakukan upaya-upaya yang bisa tetap menjamin bisnis perhotelan tetap bertahan atau bahkan tumbuh dan berkembang.

Jika pada periode terdahulu bisnis perhotelan terlalu bergantung pada segmen pemerintahan, maka di periode ini Presiden punya peluang untuk mengkoreksi perilaku jajarannya agar tidak melakukan pemborosan anggaran sekaligus mengkoreksi pertumbuhan bisnis perhotelan yang selama ini bergantung pada sebuah kekeliruan.

Prospek Bisnis Perhotelan

Presiden Prabowo Subianto tidak perlu menelan ludah sendiri. Hal ini didukung pada asumsi Pemerintah bahwa sektor perhotelan dan restoran masih memiliki ruang pertumbuhan investasi yang besar di Indonesia.

Sebagaimana Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM, Iwan Suryana, menilai bahwa industri hotel dan restoran sangat bergantung pada sektor pariwisata.

Sektor pariwisata menjadi salah satu andalan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Geliat dari aktivitas turis lokal maupun pelancong asing sudah mulai terlibat pascapandemi COVID-19 di 2023.

Berdasarkan paparan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi 2024 cukup terbantu oleh geliat sektor tersebut. Sebagai contoh, sektor jasa lainnya tumbuh paling tinggi hingga 11,36 persen pada triwulan IV-2024 dan tumbuh 9,8 persen sepanjang 2024.

BPS mencatat Indonesia mengalami peningkatan pariwisata yang luar biasa, dengan jumlah kedatangan wisatawan mancanegara mencapai rekor tertinggi, yaitu 12.658.048 antara Januari hingga November 2024, yang merupakan jumlah tertinggi dalam lima tahun terakhir.

Lonjakan ini merupakan peningkatan signifikan sebesar 20,17 persen dibandingkan 2023. Total sampai Desember 2024 kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 13,9 juta.

(Baca: Geliat Sektor Pariwisata Pacu Pertumbuhan Ekonomi)

Dengan optimisme ini, pemerintah hanya perlu membenahi berbagai permasalahan yang muncul sebagai penghambat tumbuhnya bisnis perhotelan dan sektor pariwisata

Faktor pendukung seperti akomodasi, transportasi, dan infrastruktur jalan memiliki dampak besar terhadap daya tarik wisata, yang pada akhirnya memengaruhi investasi di industri turunannya.

Masih terdapat berbagai tantangan yang dihadapi pengusaha hotel dan restoran. Dalam diskusi di Munas PHRI pada 11/2/2025, Iwan menerima keluhan terkait perizinan pengambilan air tanah yang sulit diperoleh dan diperpanjang.

Sebagai solusi, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No. 14/2024, yang menghapus persyaratan izin pengeboran sebelum pengambilan air tanah. Dengan regulasi ini, pengurusan izin dapat dilakukan lebih cepat melalui OSS.

Akan tetapi, kendala lain datang dari belum meratanya penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) di berbagai daerah.

Padahal, sistem OSS seharusnya dapat terintegrasi dengan database tata ruang. Tanpa RDTR yang jelas, pelaku usaha sering kali terhambat dalam mendapatkan izin usaha, terutama jika sistem mendeteksi bahwa wilayah yang diajukan tidak sesuai dengan peruntukannya.

“OSS dan database tata ruang harusnya bisa terintegrasi, tapi masalahnya tidak semua kabupaten punya RDTR,” jelas Iwan.

(Baca: Pemerintah Dorong Investasi Hotel dan Restoran, Atasi Hambatan Perizinan)

Selain itu, mekanisme perencanaan anggaran untuk kebutuhan rapat di hotel pun perlu dipertegas. Perlu adanya standar kegiatan rapat yang dapat dilaksanakan di luar kantor dan perlu adanya dokumentasi yang mampu menjawab, seberapa perlu rapat instansi pemerintah melaksanakan rapat di luar kantor.

Dengan demikian, bisnis perhotelan tetap dapat tumbuh seiring dengan pesatnya perkembangan sektor pariwisata, kebijakan efisiensi anggaran tetap dapat terlaksana, dan pemborosan anggaran akibat kegiatan rapat di hotel tanpa identifikasi kebutuhan yang jelas dapat dicegah.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *